Sunday, November 09, 2014

Batak Natural dyes in Jasper & Pirngadie De Weefkunst (1912)

During the past couple of years, it has become clear to me that people do not know what Jasper & Pirngadie wrote about natural dyes in the Batak area. This is probably because the book is written in Dutch. Because there are so few sources on Batak natural dyes, and because Marzuki Rahman asked me to translate it for him, I thought it might be useful to post my summary translation. Here it is.

p. 68 De Weefkunst
- In the Batak area “to dye with blue” =  tolup (Simalungun), telep (Karo), mansop (Toba)

- telep (Karo) or itom (Toba) = prepared indigo dye bath
- The dyestuff is made from the small leaves of sarap (Karo), taim (Toba and Simalungun) = Indigofera tinctoria
- also made from large leaves of selawen (Karo, Toba, Simalungun) = another kind of indigo plant
- information about these plants can be found in F.S.A. de Clercq, Nieuw Plantkundig Woordenoek voor Nederlandsch-Indiƫ (1909). He writes that the blue obtained from salaon is darker than the blue obtained from tajom. The black colour is obtained from mixing the two kinds of blue. This colour is also obtained from boiling the Indigofera leaves without mixing them with lime.
- the length of time the yarns are submerged in the dye bath depends on the intensity of the colour that is desired. In Karo, the dyeing sometimes takes place for two years, every day for at least one hour. If the dye bath is exhausted (mate), then new dye is prepared for that yarn.
Day after day the yarns are submerged in the dye bath, and especially in the Karo area, where the population wears almost exclusively blue clothing, this women’s work is done in association not just with yarn but also with white textiles, in almost every village.
This is why one finds blue dye vats in the village plain or on the balcony (ture) of the Karo Batak house.
Usually lime is added to the blue dye solution.
In the Toba region, to give the yarns an intense black colour, before or during the dye process the yarns are buried in gambo or the mud of the sawah, and the fixer  (sigiragira) is the juice of the bark of the joring (pithecolobium bigeminum Mart, of the Leguminosae). On Java, this tree is known as jengkol.
In the Simalungun Batak area, dyeing with blue is done as follows:
The yarns are washed in ash water – they use the ash of the baneara (?), harumonting (Rhodomyrtus tomentosa Wight, one of the Myrtaceae species)

(p. 69) De Weefkunst

and sanduduk (Melastoma, one of the Melastomaceae species). Then the yarns are submerged in a solution of water with pounded sihampir (a kind of grass) and curcuma; ash water is also added to this mixture. Also in the Simalungun area, they know the selaon plant (= the Karo selawen, a species of indigo) as a recipe for blue dyeing.
In the Simalungun area, they will dye the yarns black in the following way: they submerge the yarns first in the sigiragira (fixative), consisting of a solution of jambu leaves (the jambu is a species of Eugenia, one of the Myrtaceae), jambu bark and antahosi leaves (?) and then in a bath of mud (tanah porsigiraan).

In the Toba area dyeing with red (manubar) is of higher status and more complicated and yields a very lively dark brown-red colour. A lighter but inferior tint is found in Simalungun textiles.

To obtain the red (rara), the roots of the bakudu (= mengkudu) serve as the dyestuff. Two species are known, namely the bakudu Toba (which is obtained in Toba), and the bakudu Pahae (obtained from Pahae = downstream area, on the coast). The latter is better and more expensive than the former. The roots of the bakudu Toba are pounded or chopped into small pieces and mixed with the ash of sanduluk leaves (sanduluk or sanduduk is the Melastoma, a species of Melastomaceae).
Before submerging the yarns in the dye bath, it is necessary to submerge the yarn every day for four weeks in a mixture of water, ash of the sanduduk wood and pig fat. This task is called manetei and is exactly the same as the Javanese ngetelli, except that the Batak use pig fat instead of oil.
Using this method, the light red that is typical of the Simalungun and Timur textiles is obtained. The Toba refer to this light colour as modom, or sleeping, lacking life or vigour.
To obtain this (light) colour, the yarns do not need to be dyed for more than two months in the dye mixture.
To obtain the brown-red colour, they have to use the bakudu pahae. The bast of this plant is mixed in the same way with the ash of the sanduluk leaves and as the fixative (sigiragira), to obtain a darker colour (manunga nuwa) the ash of jior wood (jior = johar tree = Cassia siamea Lam), a species of the Leguminoseae) or alternatively of halok wood, is added.

To obtain the lively brown-red colour using this dyestuff, the yarns have to be dipped for a very long time.

Saturday, November 08, 2014

Tanggal 25 Oktober 2014: Tribute to Restuala Namora Pakpahan di Jong Bataks Arts Festival, Medan

.
Poster oleh MJA Nashir


Selamat malam sahabat-sahabat yang saya hormati.

Selamat datang di acara pemutaran film Rangsa ni Tonun yang adalah kesempatan untuk mengingatkan kita kembali tentang sahabat kita, almarhum Restuala Namora Pakpahan. Sayang sekali, saya tidak bisa hadir hari ini. Saya sangat merasa bersyukur sebab putri saya, Lasma Sitanggang, berkenan menyampaikan pesan saya ini.

Di program hari ini, selain Tribute untuk ito Restuala Pakpahan, ada pemutaran film mas MJA Nashir dan saya yang berjudul Rangsa ni Tonun. Kombinasi yang cocok sebab banyak tahap shoting film Rangsa ni Tonun didampingi oleh ito Restuala. Namun hubungannya antara tim Rangsa ni Tonun dan Restuala Pakpahan jauh lebih dalam dan luas.

Di tahun 2009 buku saya, Legacy in cloth, dicetak. Di tahun 2010 limapuluh eksemplar buku saya berikan kepada para penenun Batak dalam rangka Proyek Pulang Kampung dengan tujuan mengucapkan ‘terima kasih’ atas pertolongan mereka dalam tahap riset buku itu. Empat eksemplar disampaikan ke dalam tangan para penenun di Muara.  Sebagian riset saya dilakukan di Muara pada tahun 1980 dan 1986, dan kebetulan di kampung Huta na Godang, yaitu kampung ito Restuala. Tidak lama sesudah Proyek Pulang Kampung tersebut, ito Restuala berkontak saya dengan kata begini:

“Kami sangat antusias dengan Buku Ulos yg Ibu Tulis. Kami bermaksud untuk mendirikan workshop/ bengkel kerja pembuatan kain Ulos Tradisional di Muara yang terinspirasi oleh buku Ibu. Apakah ibu Sandra memberikan izin buku ibu sebagai sumber ide untuk produksi ulos?”

Tentu saja ijin diberikan oleh saya. Workshop tersebut diadakan pada tanggal 23 November 2010.

Kemudian ito Restuala sampaikan kata ini kepada saya lewat FB:

“Kegiatan tgl 23 November adalah starting point untuk melestarikan nilai yang akan kita wariskan kepada generasi masa depan”.

Dan memang pelestarian ulos menjadi fokus kuat untuk ito Restuala sampai beliau berpulang.
Kunjungan ito Restuala di bumi ini tidak begitu lama. Perjuangannya untuk melestarikan tradisi ulos di Muara dijalankan selama empat tahun. Dan hasilnya mengagumkan. [Kalau ada eksemplar kain Restuala – tolong ditunjukkan]

Saya ingin ucapkan terima kasih yang dalam kepada ito Ojax Manalu dan semua panitia acara Jong Bataks atas kesempatan ini untuk mengingat ito Restuala dan merayakan perjuangannya.

Berkenan saya untuk mengucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Mas MJA Nashir yang langsung memasukkan spiritnya ke dalam acara ini dan dalam film Tribute to Restuala yang akan diputar malam ini.
Saya ucapkan terima kasih pula kepada Threads of Life, satu yayasan di Bali yang pernah bekerjasama dengan ito Restuala untuk menggali pengetahuan Batak akan warna alam. Mereka mendukung acara ini sebagai sponsor.

Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan hangat kepada ito Ishak Aprianto Aritonang, seorang yang masih muda tetapi bersemangat besar. Dia tetap dekat dengan ito Restuala. Oleh sebab kerja keras dia, anggota2 dari Forum Anak di Muara hadir hari ini. Lewat tahap2 kecil seperti perjuangan ito Ishak ini, visi ito Restuala dilestarikan. Terima kasih kepada Forum Anak di Muara atas kehadiran dan semangat kalian semua.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada almarhum ito Restuala.

Kepada ito Restuala. Anda demikian cepat memahami implikasi dari buku saya, Legacy. Saya merasa terhormat bahwa buku itu menjadi sumber inspirasi. Dengan cara ini, Anda memberikan makna dan nilai bagi kerja saya yang bertahun-tahun itu.

Kepada Ito Restuala. Dunia ini sedang berada dalam krisis yang mendalam. Di mana-mana budaya asli menghilang dan tradisi tenun mengalami penurunan. Sumber pengetahuan dan keindahan pun menghilang karena itu semua. Inilah keadaan hal ikhwal yang menyedihkan, dan kemanusiaan yang dimiskinkan sebagai hasilnya. Keyakinan dan kegiatan Anda memberikan saya harapan. Dalam krisis ini, Anda mewakili jalan ke depan di salah satu sudut kecil dari bumi ini. Saya, seperti halnya Anda, yakin bahwa dalam penemuan kembali kerajinan tangan yang sangat erat terikat dalam jiwa budaya, di situlah ada jalan.

Setiap solusi yang akan dapat kita raih membutuhkan dedikasi dan intensitas, pengetahuan mendalam tentang desa dan budaya yang Anda miliki. Jalan untuk menghidupkan kembali tenun tradisi Batak hanya bisa ditemukan dengan cara trial and error; jalan yang tak tertandai dengan jelas dan yang tak mudah untuk ditemukan. Anda memiliki karunia kepemimpinan dan hubungan kuat dengan orang lain yang bisa membantu. Anda memiliki keberanian dan keterampilan untuk menempa jalur baru. Anda telah membuka jalan itu.

Restuala Namora Pakpahan, kita membayar penghargaan kepada Anda hari ini bukan hanya karena kami merindukanmu tetapi juga karena kami ingin mengingatkan semua orang dengan siapa Anda datang terhubung dengan visi Anda yang masih sangat dibutuhkan. Sekarang terserah kepada kita untuk menerjemahkan visi Anda ke dalam semangat budaya.

Anda sangat peduli akan para pemuda dari kampung halamanmu. Anda ingin para pemuda itu bisa meraih bahagia, sehat, hidup sukses bahkan jika mereka tetap memilih untuk tinggal di desa. Anda peduli tentang lingkungan Danau Toba dan ingin agar bersih dan sehat. Anda peduli tentang tradisi dan ingin menanamkan cinta kepada mereka. Anda ingin menyalurkan karakter kepribadian Anda utuh.

Anda meninggalkan kami terlalu cepat, ito Restuala, namun sebelum Anda pergi, Anda memberi kami karunia visi Anda, kesempatan untuk menyaksikan gairah Anda, kesempatan untuk belajar dari Anda. Terima kasih kepada ito Restuala atas penyerahan obor Anda ke dalam tangan kami. Semoga dengan obor itu kita berjalan secara bijaksana.


Beberapa Ucapan oleh Restuala Namora Pakpahan


Ulos adalah tradisi
ulos adalah produk untuk kesejahteraan
ulos adalah hidup orang Batak itu sendiri


Kita berusaha merekonstruksi ulang proses tenun menenun ulos dimasa lalu.
21/10/2010



Hari ini saya mengabarkan berita yang baik. Beritanya adalah telah berhasil kita tenun ulos warna alam kita yang pertama. BINTANG MARATUR.
14/06/ 2010 


Ulos memiliki posisi yg amat sangat fundamental dlm kehidupan. Dan kegiatan Workshop Tenun (November 2010) adalah starting point untuk melestarikan nilai yang akan kita wariskan kepada generasi masa depan.
23/10/2010


Ketika generasi muda sudah memiliki pride pada culturenya, berarti pekerjaan kita sdh mulai menampakkan hasil.  
15/11/2012

Ishak Aprianto Aritonang 



Kalau anak kami lahir..pasti kita ikutkan keliling Danau Toba nanti..ikut di Boat Budaya..he..he...




Biar dia mengenal leluhur dan budayanya sejak dari lahir...










31/01/2013


Melestarikan karya tenun (ulos) leluhurku.. adalah menemukan kembali arah peradaban masyarakatku...
14/10/13


Tim saya semangatnya, kerja dulu baru uang.
15/03/2014


Restuala Namora Pakpahan dan Tim Rangsa ni Tonun

Juni 2010                  Proyek Pulang Kampung I
           
September/October 2010 Putusan oleh Restuala Pakpahan:
mulai dengan revitalisasi kain untuk mengembangkan budaya Batak di Muara

Oktober 2010           Workshop Tenun di Muara diprakarsai dan diatur oleh Restuala Namora Pakpahan

Workshop Tenun 2010

November 2010       Pertemuan dengan Threads of Life dari Bali

November 2010       Putusan oleh Restuala Namora Pakpahan:
kerjasama dengan Threads of Life dalam rangka revitalisasi tenun di Muara.

November 2010 –    Shoting film ‘Rangsa ni Tonun’
Februari 2011     

               

Februari 2011         “Sopo Sorha Harungguan ni Partonun na Uli” diciptakan oleh Restuala Namora Pakpahan sebuah Sopo Tenun Batak di Muara
                       
Februari 2011         Rangsa ni Tonun diputar di Pameran Fiber Face III, Yogyakarta
           
Mei 2011                   Kunjungan di Bali bersama Threads of Life dan tim tenun dari Muara

Juni 2011                  Pertama kain berwarna alam hasil tim Restuala di Muara



Oktober -  November 2011                 Pameran Pulang Kampung di Erasmus Huis, Jakarta

Restuala assisted us at every stage of mounting the exhibition



November 2011       Proyek Pulang Kampung II 

2012                           Yayasan Ulos Heritage Indonesia diciptakan oleh Restuala Namora Pakpahan

2013                           Proyek Pulang Kampung III

Maret 2014               Workshop Tenun di Muara dengan tim Pulang Kampung




19 Juli 2014              Ir. Restuala Pakpahan berpulang ke Sang Pencipta